MAKALAH MEMAHAMI PEMBAGIAN HADIS BERDASARKAN KUALITAS DAN KUANTITASNYA
MEMAHAMI PEMBAGIAN
HADIS BERDASARKAN KUALITAS DAN KUANTITASNYA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Membicarakan tentang pembagian hadis dari segi kualitasnya ini
tidak dapat dipisahkan dari pembagian hadis menurut kuantitasnya. Sebagaimana
dipahami bahwa dari segi kuantitas, hadis dapat dibedakan menjadi hadis
mutawatir dan hadis ahad.
Untuk yang disebut pertama memberikan pengertian bahwa hadis itu
diterima secara yaqin bi-al-qat’I, yaitu nabi Muhammad saw. Memang benar-benar
bersabda, berbuat, atau menyatakan dihadapan para sahabat, berdasarkan
sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka bersama-sama sepakat untuk
berbuat dusta. Oleh karena kebenaran sumber-sumbernya telah menyakinkan, maka
ia harus diterima dan diamalkan dengan tanpa mengadakan penelitian, baik
terhadap sanad maupun matannya.
Sedangkan tipe hadis yang disebut kedua, hanya memberikan faedah
zanny, (prasangka) dan karenanya harus diadakan penyelidikan lebih lanjut, baik
yang berhubungan dengan sanad maupun matannya, sehingga status hadis tersebut
menjadi jelas “apakah diterima sebagai hujjah atau ditolak”.
Atas dasar inilah, kemudian para ulama hadis membagi hadis secara
kualitas, menjadi dua bagian, yaitu hadis maqbul dan hadis mardud. Yang dimaksud dengan hadis
maqbul adalah “ hadis yang telah memenuhi syarat-syarat penerimaan (qabul)
yaitu apabila sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dhabith,
dan matannya tidak syaz dan tidak ber’ilat.
B. Rumusan Masalah
1. Memahami pengertian dari hadis dari segi kualitas dan kuantitasnya
BAB II
PEMBAHASAN
1. PEMBAGIAN HADIST DARI SEGI KUALITAS
A. Hadis Shahih
1. Pengertian Hadist
Shahih
Sahih menurut bahasa lawan dari kata saqim.[1](sakit). Kata sahih
juga telah menjadi kosakata bahasa Indonesia dengan arti “sah ; benar, sempurna
sehat (tidak segalanya) pasti”.pengertian hadis sahih secara definitive
eksplisit belum dinyatakan oleh ahli hadis dari kalangan al-muttaqaddimin
(sampai abad III H). mereka pada umumnya hanya memberikan penjelasan mengenai
criteria penerimaan hadis yang dapat dipegangi. Di antara pernyataan-pernyataan
mereka adalah : “tidak diterima periwayatan suatu hadis kecuali yang bersumber
dari orang-orang yang tsiqqah,[2] tidak diterima periwanyatan suatu hadis yang
bersumber dari orang-orang yang tidak dikenal memiliki pengetahuan hadis,
dusta, mengkuti hawa nafsu, orang-orang yang ditolak kesaksiannya”.
Bukhari dan Muslim, sebagai tokoh ahli khadis dan hadis-hadis yang
diriwayatkannya sebagai hadis yang sahih, ternyata juga belum membuat definisi
sahih sahh secara tegas. Namun setelah para ulama mengadakan penelitian
mengenai cara-cara dijadikan hujjah, diperoleh suatu gambaran mengenai kriteria
sahih menurut keduanya.[3] kriteria-kriteria dimaksud adalah: (1) rangkaian
perawinya dalam sanad itu harus sampai perawi terakhir; (2) para perawinya
harus terdiri dari orang-orang yang dikenal tsiqqat, dalam arti ‘adil dan
dhabit;(3) hadisnya terhindar dari ‘illat (cacat) dan syadz (janggal); dan (4)
para perawinya yang terdekat dalam sanad harus sezaman.[4] Hanya saja antara
keduanya terjadi perbedaan pendapat mengenai persambungan sanad. Menurut
Bukhari, sanad hadis dikatakan bersambung apabila antara perawi yang terdekat
itu pernah bertemu, sekalipun hanya satu kali. Jadi tidak cukup hanya sezaman
(al-mu’asharah). Sedangkan menurut muslim, apabila antara perawi yang terdekat
hidup sezaman sudah dikategorikan bersambung.[5]
Ibnu Al-Shalah (w. 643 H) memberikan pengertian hadis sahih sebagai
berikut :
الحديث الصحيح هو الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط
إلى منتهاه ولا يكون شاذا ولا معللا.
“ Hadis sahih yaitu musnad yang bersambung sanadnya dengan
periwanyatan oleh oaring yang adil-dhabith dari orang yang adil lagi dhabith
juga hingga akhir sanad, serta tidak ada yang kejanggalan dan cacat.”
Definisi yang lebih ringkas dinyatakan oleh Al-Suyuthi :
ما إتصل سنده بالعدول الضابطين من غير شذوذ ولا علة
“Hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil
lagi dhabith, tidak syaz dan tidak ber’illat.”
2. Syarat-syarat Hadis
Sahih
Dari beberapa definisi tentang hadis sahih sebagaimana tersebut di
atas, dapat dinyatakan bahwa syarat-syarat hadis sahih adalah :
a. Sanadnya Bersambung
Maksudnya adalah bahwa tiap-tiap perawi dalam sanad hadis menerima
riwayat hadis dari perawi terdekat sebelumnya; keadaaan itu berlangsung
demikian sampai akhir sanad dari hadis itu.[6] Artinya, seluruh rangkaian para
perawi hadis, sejak perawi terakhir sampai kepada para sahabat yang menerima
hadis langsung dari Nabi SAW, bersambung dalam periwayatan.
Untuk mengetahui bersambung dan tidaknya suatu sanad, biasanya
ulama hadis menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut :
1) Mencatat semua nama
periwayat dalam sanad yang diteliti;
2) Mempelajari sejarah
hidup masing-masing periwayat;
3) Meneliti kata-kata yang
berhubungan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad,
yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasani, haddasana, akhbarana,
‘an, anna atau kata-kata lainnya.[7]
b. Perawinya Bersifat
Adil
Term ‘adil yang telah menjadi bahasa Indonesia, menurut bahasa
berarti lurus, tidak berat sebelah, tidak dzalim, tidak menyimpang, tulus dan
jujur.[8] Dengan demikian, perawi yang adil adalah perawi yang memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
1) Beragama Islam, yaitu
seorang periwayat hadis haruslah orang yang beragama Islam ketika menyampaikan
riwayatnya.
2) Bersetatus Mukallaf,
yaitu orang yang sudah baligh.
3) Melaksanakan
ketentuan agama dan meninggalkan larangannya.
4) Memelihara muru’ah
yaitu memiliki rasa malu.
Sifat-sifat adil para perawi sebagaimana dimaksud sudah dapat
diketahui melalui :
Ø Popularitas perawi
dikalangan ulama ahi hadis; perawi yang terkenal keutamaan pribadinya;
Ø Penilaian dari para
kritikus perawi hadis tentang kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri
perawi;
Penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil, bila tidak ada kesepakatan
di antara para kritikus perawi hadis mengenai kualitas pribadi para perawi
tertentu.[9]
c. Perawinya Bersifat
Dhabith
Secara bahasa, dhabith berarti, “ yang kokoh, yang kuat, yang
tepat, yang hafal dengan sempurna.[10] Sedangkan secara istilah, dhabith
dimaknai sebagai orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya
dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja bila menghendaki.[11]
Dengan demikian, dhabith dapat dibedakan menjadi dua kategori,
yaitu dhabith shadran dan dhabith kitaban. Dhabith shadran ialah terpeliharanya
periwanyatan dalam ingatan, sejak ia menerima hadis sampai meriwayatkannya
kepada orang lain. Sedangkan dhabith kitaban ialah terpeliharanya kebenaran
suatu periwayatan melalui tulisan.
Orang dikatakan dhabith, bukan berarti ia terhindar sama sekali
dari kekeliruan atau kesalahan. Sebagai manusia, kemungkinan berbuat salah dan
keliru sangatlah wajar. Namun, kekeliruan ini tidak terjadi berulang kali. Oleh
karenanya, yang demikian itu tidak dianggap sebagai orang yang kurang kuat
ingatannya.
d. Tidak Syadz (Janggal)
Maksud dari syadz di sini adalah suatu hadis yang bertentangan
dengsn hadis yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih kuat atau lebih
tsiqah. Berdasarkan pengertian ini, maka dapat dipahami bahwa hadis yang tidak
syadz adalah hadis yang matannya tidak bertentangan dengan hadis lain yang
lebih kuat atau lebih tsiqah.
e. Tidak berillat (Gair
Mu’allal)
Secara etimologis, term ‘illat (jamaknya ‘ilal atau al-‘ilal)
berarti cacat, kesalahan baca, penyakit dan keburukan.[12] Dengan makna ini,
maka disebut hadis ber’illat adalah hadis-hadis yang ada cacat atau
penyakitnya.
Sedangkan secara terminologis, ‘illat berarti sebab yang
tersembunyi yang merusakkan kualitas
hadis. Keberadaannya menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak berkualitas
sahih menjadi tidak sahih.[13] Dengan demikian, maka yang dimaksud hadis yang
tidak ber’illat, adalah hadis-hadis yang didalamnya tidak terdapat kecacatan,
kesamaran atau keragu-raguan.
B. Pengertian
Hadis Hasan
Kata hasan berasal dari kata hasuna, yahsunu yang menurut bahasa
berarti sesuatu yang diinginkan dan menjadi kecenderungan jiwa atau nafsu. Maka
sebutan hadis hasan secara bahasa berarti hadis yang baik, atau yang sesuai
dengan keinginan jiwa.
Adapun pengertian lain dari para ulama-ulama tentang hadis hasan
ini, antara lain:
a. At-Turmudzi
mendefinisikan hadis hasan sebagai “Tiap-tiap hadis yang pada sanadnya tidak
terdapat perawi yang tertuduh dusta. (pada matannya) tidak ada kejanggalan
(syadz) dan hadis tersebut di riwayatkan pula melalui jalan lain.”[16]
b. Ibnu Hajar
mendefinisikan hadis hasan sebagai “Khabar ahad yang di nukilkan melalui perawi
yang adil, sempurna ingatannya,khabar ahad yang di nukilkan melalui perawi yang
adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya dengan tanpa berilat dan syadz
di sebut hadis shahih, namun bila kekuatan ingatannya kurang kokoh (sempurna)
disebut hasan li dzatih.”[17]
c. Ath-Thibi mengemukakan
definisi hadis hasan sebagai “Hadis musnad (muttashil dan marfu’) yang
sanad-sanadnya mendekati derajat tsiqah atau hadis mursal yang (sanadnya)
tsiqah , akan tetapi pada keduanya ada perawi lain: Hadis itu terhindar dari
syudzudz dan illat).”
d. Ibnu Hajar al- Asqalani
mendefinisikan hadis hasan sebagai “Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang
adil, kurang kuat hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung illat dan
tidak syadz.”
Jadi dari definisi-definsi di atas, dapat dikatakan bahwa hadis
hasan hampir sama dengan hadis sahih, hanya saja terdapat perbedaan dalam soal
ingatan perawi. Pada hadis sahih, ingatan atau daya hafalannya sempurna,
sedangkan hadis hasan kurang sempurna.
2. Syarat-syarat
Hadis Hasan
Secara rinci syarat-syarat hadis hasan sebagai berikut:
a. Sanadnya bersambung;
b. Perawinya adil;
c. Perawinya dhabith,
tetapi kualitas kedhabitannya di bawahkedhabitan perawi hadis sahih;
d. Tidak terdapat
kejanggalan atau syadz; dan
e. Tidak ber’illat.[18]
C. Hadis Dhaif
1. Pengertian Hadis
Dhaif
Secara etimologis, term dhaif berasal dari kata dhuf’un yang
berarti lemah, lawan dari term Al-qawiy,yang berarti kuat. Dengan makna bahasa
ini, maka yang dimaksud dengan hadis dha’if adalah hadis yang lemah atau hadis
yang tidak kuat.
Secara terminologis, para ulama berbeda pendapat, menurut Imam
al-Nawawi hadis dha’if adalah “hadis yang didalamnya tidak terdapat
syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat hadis hasan.” Sedangkan menurut
‘Ajjaj al-Khattib, hadis dha’if didefinisikan sebagai sebagai “Segala hadis
yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul”. Menurut Nur al-Din ‘Itr,
merumuskan hadis dha’if sebagai “Hadis yang hilang salah satu syaratnya dari
syarat-syarat hadis maqbul.[21]
Sebaba-sebab hadis dhaif ditolak, dilihat dari dua jurusan:
a. Sanad Hadis
Dari sisi sanad Hadis ini diperinci ke dalam dua bagian:
1) Ada kecacatan pada
perawinya baik berupa keadilannya maupun kedhabitannya,ada 10 macam:
a) Dusta
b) Tertuduh dusta
c) Fasiq
d) Banyak salah
e) Lengah dalam
menghafal
f) Banyak wahamnya
g) Menyalahi riwayat
yang lebih tsiqqah atau dipercaya
h) Tdak diketahui identitasnya
i) Penganut bidah
j) Tidak baik
hafalannya
2) Sanadya tidak
bersambung
a) Gugur pada sanadnya
b) Gugur pada sanad
terakhir (sahabat)
c) Gugur dua orang rawi atau lebih secara berurutan
d) Rawinya yang digugurkan
tidak berturut-turut
2. PEMBAGIAN HADIST DARI SEGI KUANTITASNYA.
Maksud tinjauan hadits dari segi kuantitasnya,
adalah kuantitas atau jumlah perawi yang ada dalam periwayatan sebuah hadits.
Ditinjau dari segi sedikit atau banyaknya rawi yang menjadi sumber berita,
hadits terbagi menjadi dua macam, yaitu hadits mutawatir dan hadits Ahad.
A. Hadis Mutawatir
1. Pengertian Hadis Mutawatir
Secara etimologi (lughah, bahasa), lafadz
mutawatir dapat berarti mutatabi, yaitu: sesuatu yang datang berikut dengan
kita, atau yang beriringan antara satu dengan lainnya dengan tidak jarak. Secara terminologi, “hadis yang diriwayatkan
oleh sekelompok orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk
berdusta, tidak terdapat kejanggalan pada setiap tingakatan (thabaqat). Menurut Mahmud Al-Thahan, hadis Mutawatir
adalah” hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil
mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta”. Menurut Nur Al-Din ‘Itr. “hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar
orang yang terhindar dari kesepakatan mereka berdusta sejak awal sanad sampai
akhir sanad dengan dasar pada panca indra”.
Hasbi As-Sididqi dalam buku Ilmu Mustalah
Al-Hadis mendefenisikan “Hadis yang diriwayatkan berdasarkan pengamatan panca
indra oleh orang banyak yang jumlahnya menurut adat kebiasaan mustahil untuk
berbuat dusta.
2. Syarat-syarat
Hadis Mutawatir
Ada perbedaan pendapat dari kalangan ulama
mutaqaddimin maupun mutaakhirin tentang syarat-syarat hadis Mutawatir tidak
memerlukan syarat-syarat tertentu. Sebab khabar Mutawatir tidak termasuk
kedalam dalam pembahasan ilmu isnad al-hadis. Ilmu ini lebih membicarakan
tentang shahih atau tidaknya suatu hadis, diamalkan atau tidak dan juga
membicarakan adil tidak adilnya rawi, sedangkan dalam hadis Mutawatir tidak
dibicarakan hal tersebut.
Menurut ulama mutaakhirin dan ahli ushul,
suatu hadis dapat disebut sebagai hadis Mutawatir, apabila hadis tersebut
memenuhi beberapa syarat sebagai berikut.
A. Diriwayatkan
Oleh Banyak Perawi
Menurut Al-Qadi Al-Baqillani, jumlah perawi
hadis Mutawatir sekurang-kurangnya ada 5. sesuai dengan kias jumlah Nabi yang
mendapat gelar Ulul Azmi menurut Astikhry, jumlahnya minimal 10 orang. Ulama
lain menetapkan 12 orang bedasarkan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 12,
yang berbunyi: “... dan telah Kami angkat diantara mereka 12 orang
pemimpin...”.
Sebagian ulama lain menetapkan 20 orang,
sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 65 yang berbunyi: “...
Jika ada 20 orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan
200 orang musuh...”.
Ada juga yang mengatakan, jumlah perawi yang
diperlukan adalah 40 orang berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Anfal
ayat 64, sebagai berikut: “wahai Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mukmin
yang mengikutimu”
B. Faedah Hadis Mutawatir
Hadis Mutawatir befaedah ilmu dharuri, yaitu
suatu kehausan untuk menerima dan mengamalkan isinya sesuai dengan yang
diberikan, sehingga membawa keyakinan yang qat’i (pasti).
Menurut Ibn Taimiyah bahwa suatu hadis
kadang-kadang dianggap Mutawatir oleh sebagian orang tapi tidak bagi golongan
yang lain. Bagi siapa yang meyakini kemuwatiran suatu hadis, wajib baginya
mempercayai kebenaran dan mengamalkan sesuai dengan tuntunannya. Sedang bagi
yang belum mengetahui dan meyakini akan kemutawatirannya, wajib baginya
mempercayai dan mengamalkan hadis Mutawatir yang disepakati oleh para ulama
sebagaimana kewajiban mereka mengikuti ketentuan hukum yang disepakati oleh
ahli ilmu.
B. Hadis Ahad
1. Pengertian Hadis Ahad
Secara etimologi,Al-Ahad jama’ ahad, yang
berarti satu. Dengan demikian, khabar wahid adalah suatu berita yang
disampaikan oleh satu orang saja. Secara terminologi, para ulama berbeda
pendapat kepada redaksinya saja, secara substantif kesemuanya mempunyai maksud
yang sama.
Menurut Mahmud Al-Thahhan, hadis adalah
didefenisikan sebagai “hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis
Mutawatir”.
Menurut Hasbil Al-Shiddiqi, hadis ahad
didefenisikan sebagai “khabar yang jumlah peawinya tidak sebanyak perawi hadis
Mutawatir”.
Menurut Al-Buthi, hadis ahad didefenisikan
sebagai “hadis yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya
(Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian zanni dan tidak sampaikepada
qat’i.
Ada 2 hal mengenai hadis Ahad, yaitu:
1.
Jumlah perawinya tidak sampai pada jumlah perawi hadis Mutawatir
2. Kandungan didalamnya masih bersifat zanny
dan tidak sampai derajat qat’i.
Bagi mereka yang membagi hadis menjadi 3,
mendefenisikan hadis ahad sebagai hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua orang
atau lebih yang jumlahnya tidak memenuhi persyaratan hadis mansyur dan hadis
Mutawatir.
Muhammad Abu Zahra mendefenisikan “tiap-tiap
khabar yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih diterima dari
Rasulullah SAW dan tidak memenuhi persyaratan hadis mansyur”.
Abd. Wahab Khallaf menyebutkan bahwa hadis
ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau sejumlah orang,
tapi jumlahnya tidak sampai pada jumlah perawi Mutawatir”.
2. Beramal dengan Hadis Ahad
Menurut jumhur ulama, bahwa beramal dengan
hadis ahad yang telah memenuhi ketentuan maqbul, hukumnya wajib. Abu Hanifah,
Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad memakai hadis ahad bila syarat-syarat yang shahih
terpenuhi. Hadis yang menerangkan
tentang pencucian sesuatu yang kena jilatan anjing dengan 7 kali basuh dan
salah satunya dicampur dengan debu yang suci tidak digunakan, sebab perawinya
Abu Hurairah, tidak mengamalkannya.
Sedang Imam Malik menetapkan persyaratan bahwa
hadis ahad tidak menyalahi amalan ahli Madinah.
Menurut golongan Qadariyah, Rafidah dan
sebagian ahli Zahir menetapkan bahwa beramal dengan dasar hadis ahad hukumnya
tidak wajib. Al-Juabai dai golongan Mu’tazilah menetapkan “tidak wajib beramal
kecuali berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh 2 orang yang diterima dari 2
orang yang diterima dari 2 orang”. Sementara yang lain mengatakan “tidak waajib
beramal kecuali hadis yang diriwayatkan oleh empat orang dan diterima dari
empat orang pula”.
3. Pembagian Hadis Ahad
Menurut sebagian ulama, hadis ahad terbagi 2,
yaitu: hadis mansyur dan hadis ghair mansyur. Hadis ghair mansyur dibbagi
menjadi dua macam, yaitu hadis ‘aziz dan hadis ghari.
Sementara sebagian ulama yang lain membagi
hadis ahad menjadi 3 macam, yaitu hadis mansyur, hadis ‘aziz dan hadis gharib.
a.
Hadis Masyhur
1.
Pengertian Hadis Mansyur
Secara etimologi, term mansyur berasal dari
kata syahara, yasyharu, yahran, yang berarti al-ma’rul baina al-nas, yang
terkenal dikalangan manusia. Mansyur juga berarti Al-Intisyar Wa Al-zuyi’ yaitu
sesuatu yang sudah tersebar dan populer, atau dengan kata lain hadis mansyur
dapat dikatakan “hadis yang terkenal”.
Secara terminologi, para ulama (ulama ushul)
berpendapat hadis manshyur adalah:
“Hadis yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi
bilangannya tidak sampai ukuran bilangan hadis mutawatir, kemudian baru
mutawatir setelah sahabat dan demikian pula setelah mereka”.
Secara kuantitas perawi pada hadis mansyhur
jumlahnya dibawah hadis Mutawatir, artinya, meskipun jumlah perawi dalam hadis
ini banyak, tapi belum sampai memberikan faidah ilmu dharuri, sehingga
kedudukannya menjadi zanni.
B. Hadis
‘Aziz
1. Pengertian Hadis ‘Aziz
Secara etimologi, term aziz berasal dari ‘izza
ya’izzu yang berarti qalla (sedikit) atau nadara (jarang terjadi). Adajuga yang
menyebut term ini berasal dari kata ‘azza,ya’izzu, yang berartiqawiya atau istadda (kuat).
Term ini juga berarti syarif (mulia) dan
mahbub (tercinta). Hadis ‘aziz didefenisikan sebagai “hadis yang mulia, hadis
yang kuat, hadsi yang sedikit atau yang jarang sekali”. Secara terminologi,
hadis ‘aziz dapat didefenisikan sebagai: ‘hadis yang diriwayatkan oleh dua orag
rawi atau lebih dalam satu thabaqatnya.
Menurut Ibn. Al-Shalah dan yang lain, hadis
‘aziz ialah hadis yang diriwayatkan oleh dua oang atau tiga orang rawi. Suatu
hadis tergolong sebagai hadis ‘aziz, karena hanya diriwayatkan oleh 2 orang
rawi, dan berubah karena perawi pada thabaqat-thabaqat selanjutnya berjumlah
banyak.
Contoh hadis ‘aziz adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas, dan hadis yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Abu Khuriroh, yang berbunyi sebagai berikut:
“Tidaklah beriman seseorang diantara kamu,
hingga aku lebih dicintai dari pada dirinya, orang tuanya, anaknya dan semua
manusia”. (HR. Bukhari- Muslim)
C. Hadis Gharib
1. Pengertian Hadis Gharib
Secara etimologis, gharib berasal dari kata
gharaba, yaghribu yang berarti al-Munfarid, yaitu menyendiri atau ba’id ‘an
wathanih, jauh dari tanah airnya. Gharib juga berarti “terasing jauh dari tempat tinggalnya”
Secara terminologis, Nur Al-Din “ltr
mendefenisikan hadis gharib adalah: “Hadis yang diriwayatkan oleh seorang
perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya
maupun selainnya”.
Ibn Hajar mendefenisikan hadis gharib sebagai:
“hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam
meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
Hadis ini disebut gharib karena keadaannya
asing menurut pandangan rawi-rawi lain, seperti keasingan orang yang jauh dari
tempat tinggalnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Terdapat perbedaan di kalangan para ulama
ketika membagi hadis dari segi kuantitas atau jumlah perawinya. Sebagian mereka
membaginya menjadi dua, dan sebagian yang lain membaginya menjadi tiga bagian.
Untuk yang di sebutkan terakhir ini, membagi tipe hadis menjadi hadis
Mutawatir, hadis Mashur, dan hadis Ahad.
Syarat-syarat hadis Mutawatir: Diriwayatkan
oleh banyak perawi, adanya keyakinan mereka tidak berdusta, adanya keseimbangan
antar perawi, bedasarkan tanggapan panca indra.
Hadis Mutawatir terbagi 3 yaitu: Hadis
Mutawatir Lafdzi, hadis Mutawatir Ma’nawi, hadis Mutawatir ‘Amali.
Secara terminologi, hadis ‘aziz dapat
didefenisikan sebagai: “Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi atau lebih
dalam satu thabaqatnya”.
Secara etimologi, Al-Ahad jama’ dari
ahad, yang berarti satu. Dengan
demikian, khaba wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang
saja. Secara terminologi, para ulama berbeda pendapat kepada redaksinya saja,
secara substantif kesemuanya mempunyai
maksud yang sama.
Menurut Mahmud Al-Thahhan, hadis adalah
didefenisikan sebagai “hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis
Mutawatir”.
Hadis Ahad terbagi atas: Hadis Mansyhur, hadis
Aziz, hadis Gharib, hadis Gharib terbagi 2 yaitu: hadis gharib muthlaq, hadis
gharib nisbi.
B.
Saran-saran
Untuk mengetahui jenis-jenis hadis maka kita
harus mempelajari ilmu macam-macam hadis atau melihat hadis dari segi kualitas
dan kuantitasnya.